KET
Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah kegawatdaruratan obstetrik yang
mengancam nyawa ibu dan kelangsungan hidup janin, serta merupakan salah
satu penyebab utama mortalitas ibu, khususnya pada trimester pertama.
Karena manifestasinya yang cukup dramatis, sering kali KET dijumpai
terlebih dahulu bukan oleh dokter-dokter ahli kebidanan, melainkan
dokter-dokter yang bekerja di unit gawat darurat, sehingga entitas ini
perlu diketahui oleh setiap dokter. Di masa lampau KET hampir selalu
fatal, namun berkat perkembangan alat diagnostik yang canggih morbiditas
maupun mortalitas akibat KET jauh berkurang. Hal ini mengakibatkan
keterlambatan diagnosis dan terapi yang adekuat. Kehamilan ektopik yang
belum terganggu juga menjadi masalah tersendiri, karena seolah-olah
menjadi bom waktu dalam tubuh pasien. Hal ini terjadi bila tidak ada
fasilitas diagnostik yang menunjang, seperti yang terjadi di berbagai
daerah rural di Indonesia. Dengan diagnosis yang tepat dan cepat
kesejahteraan ibu, bahkan janin, dapat ditingkatkan.
Definisi
Suatu kehamilan disebut kehamilan ektopik bila zigot terimplantasi di
lokasi-lokasi selain cavum uteri, seperti di ovarium, tuba, serviks,
bahkan rongga abdomen. Istilah kehamilan ektopik terganggu (KET) merujuk
pada keadaan di mana timbul gangguan pada kehamilan tersebut sehingga
terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan umum
pasien.
Epidemiologi
Insidens kehamilan ektopik yang sesungguhnya sulit ditetapkan. Meskipun
secara kuantitatif mortalitas akibat KET berhasil ditekan, persentase
insidens dan prevalensi KET cenderung meningkat dalam dua dekade ini.
Dengan berkembangan alat diagnostik canggih, semakin banyak kehamilan
ektopik yang terdiagnosis sehingga semakin tinggi pula insidens dan
prevalensinya. Keberhasilan kontrasepsi pula meningkatkan persentase
kehamilan ektopik, karena keberhasilan kontrasepsi hanya menurunkan
angka terjadinya kehamilan uterin, bukan kehamilan ektopik. Meningkatnya
prevalensi infeksi tuba juga meningkatkan keterjadian kehamilan
ektopik. Selain itu, perkembangan teknologi di bidang reproduksi,
seperti fertilisasi in vitro, ikut berkontribusi terhadap peningkatan
frekuensi kehamilan ektopik. Di Amerika Serikat, kehamilan ektopik
terjadi pada 1 dari 64 hingga 1 dari 241 kehamilan, dan 85-90% kasus
kehamilan ektopik didapatkan pada multigravida.
Etiologi
Kehamilan ektopik pada dasarnya disebabkan segala hal yang menghambat
perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor-faktor mekanis yang
menyebabkan kehamilan ektopik antara lain: riwayat operasi tuba,
salpingitis, perlekatan tuba akibat operasi non-ginekologis seperti
apendektomi, pajanan terhadap diethylstilbestrol, salpingitis isthmica
nodosum (penonjolan-penonjolan kecil ke dalam lumen tuba yang menyerupai
divertikula), dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR). Hal-hal tersebut
secara umum menyebabkan perlengketan intra- maupun ekstraluminal pada
tuba, sehingga menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Selain
itu ada pula faktor-faktor fungsional, yaitu perubahan motilitas tuba
yang berhubungan dengan faktor hormonal dan defek fase luteal. Dalam hal
ini gerakan peristalsis tuba menjadi lamban, sehingga implantasi zigot
terjadi sebelum zigot mencapai kavum uteri. Dikatakan juga bahwa
meningkatnya usia ibu akan diiringi dengan penurunan aktivitas
mioelektrik tuba. Teknik-teknik reproduktif seperti gamete
intrafallopian transfer dan fertilisasi in vitro juga sering menyebabkan
implantasi ekstrauterin. Ligasi tuba yang tidak sempurna memungkinkan
sperma untuk melewati bagian tuba yang sempit, namun ovum yang telah
dibuahi sering kali tidak dapat melewati bagian tersebut. Alat
kontrasepsi dalam rahim selama ini dianggap sebagai penyebab kehamilan
ektopik. Namun ternyata hanya AKDR yang mengandung progesteron yang
meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik. AKDR tanpa progesteron tidak
meningkatkan risiko kehamilan ektopik, tetapi bila terjadi kehamilan
pada wanita yang menggunakan AKDR, besar kemungkinan kehamilan tersebut
adalah kehamilan ektopik.
Patofisiologi Kehamilan Tuba
Tempat-tempat implantasi kehamilan ektopik antara lain ampulla tuba
(lokasi tersering), isthmus, fimbriae, pars interstitialis, kornu uteri,
ovarium, rongga abdomen, serviks dan ligamentum kardinal. Zigot dapat
berimplantasi tepat pada sel kolumnar tuba maupun secara interkolumnar.
Pada keadaan yang pertama, zigot melekat pada ujung atau sisi jonjot
endosalping yang relatif sedikit mendapat suplai darah, sehingga zigot
mati dan kemudian diresorbsi. Pada implantasi interkolumnar, zigot
menempel di antara dua jonjot. Zigot yang telah bernidasi kemudian
tertutup oleh jaringan endosalping yang menyerupai desidua, yang disebut
pseudokapsul. Villi korialis dengan mudah menembus endosalping dan
mencapai lapisan miosalping dengan merusak integritas pembuluh darah di
tempat tersebut. Selanjutnya, hasil konsepsi berkembang, dan
perkembangannya tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tempat
implantasi, ketebalan tempat implantasi dan banyaknya perdarahan akibat
invasi trofoblas.
Seperti kehamilan normal, uterus pada kehamilan ektopik pun mengalami
hipertrofi akibat pengaruh hormon estrogen dan progesteron, sehingga
tanda-tanda kehamilan seperti tanda Hegar dan Chadwick pun ditemukan.
Endometrium pun berubah menjadi desidua, meskipun tanpa trofoblas.
Sel-sel epitel endometrium menjadi hipertrofik, hiperkromatik, intinya
menjadi lobular dan sitoplasmanya bervakuol. Perubahan selular demikian
disebut sebagai reaksi Arias-Stella.
Karena tempat implantasi pada kehamilan ektopik tidak ideal untuk
berlangsungnya kehamilan, suatu saat kehamilan ektopik tersebut akan
terkompromi. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan
ektopik adalah: 1) hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi, 2) abortus
ke dalam lumen tuba, dan 3) ruptur dinding tuba.
Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars
ampullaris, sedangkan ruptur lebih sering terjadi pada kehamilan pars
isthmica. Pada abortus tuba, bila pelepasan hasil konsepsi tidak
sempurna atau tuntas, maka perdarahan akan terus berlangsung. Bila
perdarahan terjadi sedikit demi sedikit, terbentuklah mola kruenta. Tuba
akan membesar dan kebiruan (hematosalping), dan darah akan mengalir
melalui ostium tuba ke dalam rongga abdomen hingga berkumpul di kavum
Douglas dan membentuk hematokel retrouterina.
Pada kehamilan di pars isthmica, umumnya ruptur tuba terjadi lebih awal,
karena pars isthmica adalah bagian tuba yang paling sempit. Pada
kehamilan di pars interstitialis ruptur terjadi lebih lambat (8-16
minggu) karena lokasi tersebut berada di dalam kavum uteri yang lebih
akomodatif, sehingga sering kali kehamilan pars interstitialis disangka
sebagai kehamilan intrauterin biasa. Perdarahan yang terjadi pada
kehamilan pars interstitialis cepat berakibat fatal karena suplai darah
berasal dari arteri uterina dan ovarika. Oleh sebab itu kehamilan pars
interstitialis adalah kehamilan ektopik dengan angka mortalitas
tertinggi. Kerusakan yang melibatkan kavum uteri cukup besar sehingga
histerektomi pun diindikasikan. Ruptur, baik pada kehamilan fimbriae,
ampulla, isthmus maupun pars interstitialis, dapat terjadi secara
spontan maupun akibat trauma ringan, seperti koitus dan pemeriksaan
vaginal. Bila setelah ruptur janin terekspulsi ke luar lumen tuba, masih
terbungkus selaput amnion dan dengan plasenta yang masih utuh, maka
kehamilan dapat berlanjut di rongga abdomen. Untuk memenuhi kebutuhan
janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan
sekitarnya, seperti uterus, usus dan ligamen.
Manifestasi Klinik Kehamilan Tuba
Gejala Subjektif
Sebagian besar pasien merasakan nyeri abdomen, keterlambatan menstruasi
dan perdarahan per vaginam. Nyeri yang diakibatkan ruptur tuba
berintensitas tinggi dan terjadi secara tiba-tiba. Penderita dapat jatuh
pingsan dan syok. Nyeri akibat abortus tuba tidak sehebat nyeri akibat
ruptur tuba, dan tidak terus-menerus. Pada awalnya nyeri terdapat pada
satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke rongga abdomen dan merangsang
peritoneum, nyeri menjadi menyeluruh. Perdarahan per vaginam berasal
dari pelepasan desidua dari kavum uteri dan dari abortus tuba. Umumnya
perdarahan tidak banyak dan berwarna coklat tua. Keterlambatan
menstruasi tergantung pada usia gestasi. Penderita mungkin tidak
menyangka bahwa dirinya hamil, atau menyangka dirinya hamil normal, atau
mengalami keguguran (abortus tuba). Sebagian penderita tidak
mengeluhkan keterlambatan haid karena kematian janin terjadi sebelum
haid berikutnya. Kadang-kadang pasien merasakan nyeri yang menjalar ke
bahu. Hal ini disebabkan iritasi diafragma oleh hemoperitoneum.
Temuan objektif
Pada kasus-kasus yang dramatis, sering kali pasien datang dalam keadaan
umum yang buruk karena syok. Tekanan darah turun dan frekuensi nadi
meningkat. Darah yang masuk ke dalam rongga abdomen akan merangsang
peritoneum, sehingga pada pasien ditemukan tanda-tanda rangsangan
peritoneal (nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas, defense musculaire).
Bila perdarahan berlangsung lamban dan gradual, dapat dijumpai tanda
anemia pada pasien. Hematosalping akan teraba sebagai tumor di sebelah
uterus. Dengan adanya hematokel retrouterina, kavum Douglas teraba
menonjol dan nyeri pada pergerakan (nyeri goyang porsio). Di samping itu
dapat ditemukan tanda-tanda kehamilan, seperti pembesaran uterus.
Diagnosis
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu tentunya ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. KET harus
dipikirkan bila seorang pasien dalam usia reproduktif mengeluhkan nyeri
perut bawah yang hebat dan tiba-tiba, ataupun nyeri perut bawah yang
gradual, disertai keluhan perdarahan per vaginam setelah keterlambatan
haid, dan pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda akut abdomen,
kavum Douglas menonjol, nyeri goyang porsio, atau massa di samping
uterus. Adanya riwayat penggunaan AKDR, infeksi alat kandungan,
penggunaan pil kontrasepsi progesteron dan riwayat operasi tuba serta
riwayat faktor-faktor risiko lainnya memperkuat dugaan KET. Namun
sebagian besar pasien menyangkal adanya faktor-faktor risiko tersebut di
atas.
Bila pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan kantong gestasi dengan
denyut jantung janin dengan kavum uteri yang kosong, maka diagnosis
pasti dapat ditegakkan. USG transvaginal dapat mendeteksi tubal ring
(massa berdiameter 1-3 cm dengan pinggir ekhogenik yang mengelilingi
pusat yang hipoekhoik); gambaran tersebut cukup spesifik untuk kehamilan
ektopik. USG transvaginal juga memungkinkan evaluasi kavum pelvis
dengan lebih baik, termasuk visualisasi cairan di kavum Douglas dan
massa pelvis.
Kadar hCG membantu penegakan diagnosis, meskipun tidak ada konsensus
mengenai kadar hCG yang sugestif untuk kehamilan ektopik. Kehamilan
ektopik dapat dibedakan dari kehamilan normal dengan pemeriksaan kadar
hCG secara serial. Pada usia gestasi 6-7 minggu, kadar hCG serum
meningkat dua kali lipat setiap 48 jam pada kehamilan intrauterin
normal. Peningkatan yang subnormal (< 66%) dijumpai pada 85%
kehamilan yang nonviable, dan peningkatan sebanyak 20% sangat prediktif
untuk kehamilan nonviable. Fenomena ini, bila disertai dengan
terdeteksinya kavum uteri yang kosong, mengindikasikan adanya kehamilan
ektopik. Secara klinis, penegakan diagnosis KET dengan pemantauan kadar
hCG serial tidak praktis, karena dapat mengakibatkan keterlambatan
diagnosis. Selain itu, peningkatan kadar hCG serum dua kali lipat setiap
48 jam tidak lagi terjadi setelah minggu ke-7 kehamilan. Oleh sebab
itu, umumnya yang diperiksakan adalah hCG kualitatif untuk diagnosis
cepat kehamilan.
Dengan adanya USG dan pemeriksaan kadar hCG yang lebih akurat,
kuldosentesis sudah tidak terlalu sering dilakukan. Meskipun demikian,
tindakan tersebut masih dilakukan bila tidak ada fasilitas USG atau bila
pada pemeriksaan USG kantong gestasi tidak berhasil terdeteksi.
Kadar progesteron pada kehamilan nonviable memang menurun, namun
penurunan kadar progesteron tersebut tidak dapat membedakan kehamilan
ektopik dari abortus insipiens.
Diagnosis juga dapat ditegakkan secara bedah (surgical diagnosis).
Kuretase dapat dikerjakan untuk membedakan kehamilan ektopik dari
abortus insipiens atau abortus inkomplet. Kuretase tersebut dianjurkan
pada kasus-kasus di mana timbul kesulitan membedakan abortus dari
kehamilan ektopik dengan kadar progesteron serum di bawah 5 ng/ml,
β-hCG meningkat abnormal (< 2000 mU/mL) dan kehamilan uterin tidak
terdeteksi dengan USG transvaginal. Diagnosis secara bedah juga dapat
dilakukan dengan laparoskopi dan laparotomi. Laparotomi umumnya
dikerjakan bila keadaan hemodinamik pasien tidak stabil.
Diagnosis Banding
Keadaan-keadaan patologis baik di dalam maupun di luar bidang
obstetri-ginekologi perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding KET.
Kelainan bidang obstetri-ginekologi yang didiagnosis banding dengan KET
antara lain abortus, kista ovarii terpuntir, perdarahan uterin
disfungsional, endometriosis, salpingitis, ruptur kista luteal dan
penyakit trofoblastik gestasional. Penyakit di luar bidang
obstetri-ginekologi yang manifestasinya menyerupai KET adalah
apendisitis.
Penatalaksanaan Kehamilan Tuba
Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara
lain lokasi kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh,
penatalaksanaan kehamilan tuba berbeda dari penatalaksanaan kehamilan
abdominal. Selain itu, perlu dibedakan pula penatalaksanaan kehamilan
ektopik yang belum terganggu dari kehamilan ektopik terganggu. Tentunya
penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu
berbeda dengan penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik terganggu
yang menyebabkan syok.
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam
kondisi baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan
ekspektasi (expectant management), penatalaksanaan medis dan
penatalaksanaan bedah.
Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75%
pasien -hCG. Padabdengan kehamilan ektopik akan mengalami penurunan
kadar -hCG yangbpenatalaksanaan ekspektasi, kehamilan ektopik dini
dengan kadar stabil atau cenderung turun diobservasi ketat. Oleh sebab
itu, tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani
penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada
keadaan-keadaan berikut: 1) kehamilan -hCG yang menurun, 2) kehamilan
tuba, 3) tidak adabektopik dengan kadar perdarahan intraabdominal atau
ruptur, dan 4) diameter massa ektopik tidak -hCG awal harus
kurangbmelebihi 3.5 cm. Sumber lain menyebutkan bahwa kadar dari 1000
mIU/mL, dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan
bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan tuba.
Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak
integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima
tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan
hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas
jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum
Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi
yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki
penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan
intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah
yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian
methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi
kehamilan ektopik secara medis.
Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi
keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit
trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila
diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan
dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan
tersebut. Seperti halnya dengan penatalaksanaan medis untuk kehamilan
ektopik pada umumnya, kandidat-kandidat untuk terapi methotrexate harus
stabil secara hemodinamis dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah
yang normal. Harus diketahui pula bahwa terapi methotrexate maupun medis
secara umum mempunyai angka kegagalan sebesar 5-10%, dan angka
kegagalan meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa
hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm. Pasien harus diinformasikan
bahwa bila terjadi kegagalan terapi medis, pengulangan terapi
diperlukan, dan pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan menjalani
pembedahan. Selain itu, tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu harus
selalu diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien harus sesegera
mungkin menjalani pembedahan. Senggama dan konsumsi asam folat juga
dilarang. Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang
harus diantisipasi, antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis,
gastroenteritis dan depresi sumsum tulang. Beberapa prediktor
keberhasilan terapi dengan methotrexate yang -hCG, progesteron,
aktivitasbdisebutkan dalam literatur antara lain kadar jantung janin,
ukuran massa hasil konsepsi dan ada/tidaknya cairan bebas dalam rongga
peritoneum. Namun disebutkan dalam sumber lain bahwa hanya kadar
-hCG-lah yang bermakna secara statistik. Untuk memantau keberhasilan
terapi,b -hCG serial dibutuhkan. Pada hari-hari pertama setelah
dimulainyabpemeriksaan pemberian methotrexate, 65-75% pasien akan
mengalami nyeri abdomen yang diakibatkan pemisahan hasil konsepsi dari
tempat implantasinya (separation pain), dan hematoma yang meregangkan
dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi -hCG umumnya tidak terdeteksi lagi
dalam 14-21bdengan analgetik nonsteroidal. hari setelah pemberian
methotrexate. Pada hari-hari pertama pula massa hasil konsepsi akan
tampak membesar pada pencitraan ultrasonografi akibat edema dan
hematoma, sehingga jangan dianggap sebagai kegagalan terapi. Setelah
terapi -hCG masih perlu diawasi setiap minggunya hingga kadarnya
dibberhasil, kadar bawah 5 mIU/mL.
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel.
Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan
dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular)
pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis
multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis
0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8.
Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif
pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal
9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi
tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal
adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang
belum terganggu.
Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena selama 5
hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien dengan
kegagalan terapi methotrexate sebelumnya.
Larutan Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan
alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko dan
kawan-kawan melaporkan keberhasilan injeksi larutan glukosa hiperosmolar
dalam menterminasi kehamilan tuba. Namun pada umumnya injeksi
methotrexate tetap lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan dengan
terapi injeksi larutan glukosa tersebut cukup tinggi, sehingga
alternatif ini jarang digunakan.
Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan
kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu
saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan
secepat mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk menterminasi
kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif, di mana integritas tuba
dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana salpingektomi dilakukan.
Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal sebagai
salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan
tersebut di atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi.
Namun bila pasien jatuh ke dalam syok atau tidak stabil, maka tidak ada
tempat bagi pembedahan per laparoskopi.
Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang
berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba
fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada
tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik.
Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan
dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat
dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka
(tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat
dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi
saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum
terganggu. Sebuah penelitian di Israel membandingkan salpingostomi per
laparoskopi dengan injeksi methotrexate per laparoskopi. Durasi
pembedahan pada grup salpingostomi lebih lama daripada durasi pembedahan
pada grup methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani masa rawat
inap yang lebih singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten
pada grup ini lebih rendah. Meskipun demikian angka keberhasilan
terminasi kehamilan tuba dan angka kehamilan intrauterine setelah
kehamilan tuba pada kedua grup tidak berbeda secara bermakna.
Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada
salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan
bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan
perlekatan tuba pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi.
Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum maupun
yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun
laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut
ini: 1) kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu), 2) pasien tidak
menginginkan fertilitas pascaoperatif, 3) terjadi kegagalan sterilisasi,
4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya, 5)
pasien meminta dilakukan sterilisasi, 6) perdarahan berlanjut
pascasalpingotomi, 7) kehamilan tuba berulang, 8) kehamilan heterotopik,
dan 9) massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm. Reseksi massa hasil
konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan
pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada
salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan
penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada
kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi
untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi,
bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting,
dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria
tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba
yang direseksi dipisahkan dari mesosalping.
Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi
dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan
di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil
konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi
dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga
tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan.
VARIAN-VARIAN KEHAMILAN EKTOPIK
Kehamilan Abdominal
Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik
sekunder akibat ruptur atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam
rongga abdomen. Implantasi primer di dalam rongga abdomen amatlah
jarang. Mortalitas akibat kehamilan abdominal tujuh kali lebih tinggi
daripada kehamilan tuba, dan 90 kali lebih tinggi daripada kehamila
intrauterin. Morbiditas maternal dapat disebabkan perdarahan, infeksi,
anemia, koagulasi intravaskular diseminata (DIC), emboli paru atau
terbentuknya fistula antara kantong amnion dengan usus. Pada kehamilan
abdominal yang khas, plasenta yang telah menembus dinding tuba secara
bertahap membuat perlekatan baru dengan jaringan serosa di sekitarnya,
namun juga mempertahankan perlekatannya dengan tuba. Pada beberapa
kasus, setelah ruptur tuba plasenta mengadakan implantasi di tempat yang
terpisah dari tuba dalam rongga abdomen. Kehamilan abdominal dapat juga
terjadi akibat ruptur bekas insisi seksio sesaria, dan pada kasus ini
kehamilan berlanjut di balik plika vesikouterina. Diagnosis kehamilan
abdominal berawal dari indeks kecurigaan yang tinggi. Temuan-temuan
ultrasonografik berikut, meskipun tidak patognomonis, harus segera
membuat kita berpikir akan suatu kehamilan abdominal: 1) tidak tampaknya
dinding uterus antara kandung kemih dengan janin, 2) plasenta terletak
di luar uterus, 3) bagian-bagian janin dekat dengan dinding abdomen ibu,
4) letak janin abnormal, dan 5) tidak ada cairan amnion antara plasenta
dan janin. MRI dan CT-scan dapat memberikan visualisasi yang jauh lebih
baik daripada USG.
Kehamilan ekstrauterin lanjut memiliki peluang kelahiran hidup sebesar
10-25%, namun angka malformasi kongenital pada bayi ekstrauterin cukup
tinggi akibat oligohidramnios, dan hanya 50%-nya dapat bertahan hidup
lebih dari satu minggu. Kelainan kongenital yang ditemukan umumnya
berupa abnormalitas wajah, kranium dan ekstremitas. Kehamilan abdominal
pula memberikan ancaman-ancaman kesehatan bagi si ibu. Oleh sebab itu,
terminasi sedini mungkin sangat dianjurkan. Janin yang mati namun
terlalu besar untuk diresorbsi dapat mengalami proses supurasi,
mumifikasi atau kalsifikasi. Karena letak janin yang sangat dekat dengan
traktus gastrointestinal, bakteri dengan mudah mencapai janin dan
berkembang biak dengan subur. Selanjutnya, janin akan mengalami
supurasi, terbentuk abses, dan abses tersebut dapat ruptur sehingga
terjadi peritonitis. Bagian-bagian janin pun dapat merusak organ-organ
ibu di sekitarnya. Pada satu atau dua kasus yang telah dilaporkan, janin
yang mati mengalami proses mumifikasi, menjadi lithopedion, dan menetap
dalam rongga abdomen selama lebih dari 15 tahun. Penanganan kehamilan
abdominal sangat berisiko tinggi. Penyulit utama adalah perdarahan yang
disebabkan ketidakmampuan tempat implantasi plasenta untuk mengadakan
vasokonstriksi seperti miometrium. Sebelum operasi, cairan resusitasi
dan darah harus tersedia, dan pada pasien harus terpasang minimal dua
jalur intravena yang cukup besar. Pengangkatan plasenta membawa masalah
tersendiri pula. Plasenta boleh diangkat hanya jika pembuluh darah yang
mendarahi implantasi plasenta tersebut dapat diidentifikasi dan
diligasi. Karena hal tersebut tidak selalu dapat dilaksanakan, dan
lepasnya plasenta sering mengakibatkan perdarahan hebat, umumnya
plasenta ditinggalkan in situ. Pada sebuah laporan kasus, plasenta yang
lepas sebagian terpaksa dijahit kembali karena perdarahan tidak dapat
dihentikan dengan berbagai macam manuver hemostasis. Dengan ditinggalkan
in situ, plasenta diharapkan mengalami regresi dalam 4 bulan.
Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi adalah ileus, peritonitis,
pembentukan abses intraabdomen dan infeksi organ-organ sekitar plasenta,
serta preeklamsia persisten. Regresi plasenta dimonitor dengan -hCG
serum. Pemberianbpencitraan ultrasonografi dan pengukuran kadarÂ
methotrexate untuk mempercepat involusi plasenta tidak dianjurkan,
karena degradasi jaringan plasenta yang terlalu cepat akan menyebabkan
akumulasi jaringan nekrotik, yang selanjutnya dapat mengakibatkan
sepsis. Embolisasi per angiografi arteri-arteri yang mendarahi tempat
implantasi plasenta adalah sebuah alternatif yang baik.
Kehamilan Ovarium
Kehamilan ektopik pada ovarium jarang terjadi. Pada tahun 1878,
Spiegelberg merumuskan criteria diagnosis kehamilan ovarium: 1) tuba
pada sisi ipsilateral harus utuh, 2) kantong gestasi harus menempati
posisi ovarium, 3) ovarium dan uterus harus berhubungan melalui
ligamentum ovarii, dan 4) jaringan ovarium harus ditemukan dalam dinding
kantong gestasi. Secara umum faktor risiko kehamilan ovarium sama
dengan faktor risiko kehamilan tuba. Meskipun daya akomodasi ovarium
terhadap kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi tuba, kehamilan
ovarium umumnya mengalami ruptur pada tahap awal. Manifestasi klinik
kehamilan ovarium menyerupai manifestasi klinik kehamilan tuba atau
perdarahan korpus luteum. Umumnya kehamilan ovarium pada awalnya
dicurigai sebagai kista korpus luteum atau perdarahan korpus luteum.
Kehamilan ovarium terganggu ditangani dengan pembedahan yang sering kali
mencakup ovariektomi. Bila hasil konsepsi masih kecil, maka reseksi
parsial ovarium masih mungkin dilakukan. Methotrexate dapat pula
digunakan untuk terminasi kehamilan ovarium yang belum terganggu.
Kehamilan Serviks
Kehamilan serviks juga merupakan varian kehamilan ektopik yang cukup
jarang. Etiologinya masih belum jelas, namun beberapa kemungkinan telah
diajukan. Burg mengatakan bahwa kehamilan serviks disebabkan transpor
zigot yang terlalu cepat, yang disertai oleh belum siapnya endometrium
untuk implantasi. Dikatakan pula bahwa instrumentasi dan kuretase
mengakibatkan kerusakan endometrium sehingga endometrium tidak lagi
menjadi tempat nidasi yang baik. Sebuah pengamatan pada 5 kasus
kehamilan serviks mengindikasikan adanya hubungan antara kehamilan
serviks dengan kuretase traumatik dan penggunaan IUD pada sindroma
Asherman. Hubungan serupa juga tercermin pada fakta bahwa Jepang, di
mana angka kuretase juga tinggi, memiliki angka kehamilan serviks yang
tertinggi di antara negara-negara lain. Kehamilan serviks juga
berhubungan dengan fertilisasi in-vitro dan transfer embrio. Pada
kehamilan serviks, endoserviks tererosi oleh trofoblas dan kehamilan
berkembang dalam jaringan fibrosa dinding serviks. Lamanya kehamilan
tergantung pada tempat nidasi. Semakin tinggi tempat nidasi di kanalis
servikalis, semakin besar kemungkinan janin dapat tumbuh dan semakin
besar pula tendensi perdarahan hebat. Perdarahan per vaginam tanpa rasa
sakit dijumpai pada 90% kasus, dan sepertiganya mengalami perdarahan
hebat. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu. Prinsip
dasar penanganan kehamilan serviks, seperti kehamilan ektopik lainnya,
adalah evakuasi. Karena kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi
20 minggu, umumnya hasil konsepsi masih kecil dan dievakuasi dengan
kuretase. Namun evakuasi hasil konsepsi pada kehamilan serviks sering
kali mengakibatkan perdarahan hebat karena serviks mengandung sedikit
jaringan otot dan tidak mampu berkontraksi seperti miometrium. Bila
perdarahan tidak terkontrol, sering kali histerektomi harus dilakukan.
Hal ini menjadi dilema, terutama bila pasien ingin mempertahankan
kemampuan reproduksinya. Beberapa metode-metode nonradikal yang
digunakan sebagai alternatif histerektomi antara lain pemasangan kateter
Foley, ligasi arteri hipogastrika dan cabang desendens arteri uterina,
embolisasi arteri dan terapi medis. Kateter Foley dipasang pada kanalis
servikalis segera setelah kuretase, dan balon kateter segera
dikembangkan untuk mengkompresi sumber perdarahan. Selanjutnya vagina
ditampon dengan kasa. Beberapa pakar mengusulkan penjahitan serviks pada
jam 3 dan 9 untuk tujuan hemostasis (hemostatic suture) sebelum
dilakukan kuretase. Embolisasi angiografik arteri uterina adalah teknik
yang belakangan ini dikembangkan dan memberikan hasil yang baik, seperti
pada sebuah laporan kasus kehamilan serviks di Italia24. Sebelum
kuretase dilakukan, arteri uterina diembolisasi dengan fibrin, gel atau
kolagen dengan bantuan angiografi. Pada kasus tersebut, perdarahan yang
terjadi saat dan setelah kuretase tidak signifikan. Seperti pada
kehamilan tuba, methotrexate pun digunakan untuk terminasi kehamilan
serviks. Methotrexate adalah modalitas terapeutik yang pertama kali
digunakan setelah diagnosis kehamilan serviks ditegakkan. Namun pada
umumnya methotrexate hanya memberikan hasil yang baik bila usia gestasi
belum melewati 12 minggu. Methotrexate dapat diberikan secara
intramuskular, intraarterial maupun intraamnion.
Kehamilan Ektopik Heterotipik
Kehamilan ektopik di sebuah lokasi dapat koeksis dengan kehamilan
intrauterin. Kehamilan heterotipik ini sangat langka. Hingga satu dekade
yang lalu insidens kehamilan heterotipik adalah 1 dalam 30,000
kehamilan, namun dikatakan bahwa insidensnya sekarang telah meningkat
menjadi 1 dalam 7000, bahkan 1 dalam 900 kehamilan, berkat perkembangan
teknik-teknik reproduksi. Kemungkinan kehamilan heterotipik harus
dipikirkan pada kasus-kasus sebagai berikut: 1) assisted reproduction
technique, 2) bila hCG tetap tinggi atau meningkat setelah dilakukan
kuretase pada abortus, 3) bila tinggi fundus uteri melampaui tingginya
yang sesuai dengan usia gestasi, 4) bila terdapat lebih dari 2 korpus
luteum, 5) bila terdeteksi pada USG adanya kehamilan ektra- dan
intrauterin.
Komentar
Posting Komentar